Cegah Penyebaran Covid-19, Bisakah Herd Immunity Diterapkan di Indonesia?
Penulis Ellyvon Pranita | Editor Sri Anindiati Nursastri
KOMPAS.com – Selama Covid-19 masih menjadi pandemi global, herd immunity kerap disebut-sebut menjadi alternatif melawan penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis SARS-CoV-2 ini. Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr Panji Hadisoemarto MPH, menyebutkan bahwa herd immunity adalah konsep kekebalan terhadap penyakit yang dipakai untuk level populasi. “Jadi bukan seseorang (individual saja) punya kekebalan, tapi sekelompok orang punya kekebalan (terhadap kuman jahat tertentu),” kata Panji kepada Kompas.com, Senin (11/5/2020).
Panji menyebutkan, tak perlu 100 persen anggota populasi memiliki kekebalan tersebut. Cukup sebagian dari populasi saja. Sistem kekebalan tubuh (antibodi) yang muncul akibat telah terinfeksi memang umum terjadi dalam kasus virus lainnya. Akan tetapi, SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 belum memiliki bukti klinis bahwa pasien yang sudah pernah terinfeksi akan kebal dengan infeksi virus serupa berikutnya. “Tapi pengetahuan kita tentang respon kekebalan tubuh terhadap Covid-19 belum lengkap,” ujar dia.
Berapa banyak anggota populasi yang harus kebal?
Panji berkata, hal ini ada hubungannya dengan angka reproduksi dasar atau Basic Reproductive Number (R0) sebuah penyakit. Pendekatan sederhananya, proporsi yang harus punya kekebalan setidaknya 1- (1/R0). Jadi kalau R0=3, kalau di populasi ada 67 persen orang yang sudah kebal, dikatakan sudah terbentuk herd immunity.
Metode atau cara kerja herd immunity
Dijelaskan Panji, selama ini metode atau cara kerja herd dipakai melalui imunisasi. Tujuan program imunisasi bukan hanya melindungi orang yang diimunisasi, tetapi populasi pada umumnya. Saat pandemi Covid-19 ini masih terbilang masif atau identifikasi kasus konfirmasi masih ada dalam jumlah banyak, herd immunity yang dilakukan secara paksa tanpa vaksinasi itu tidak sebaiknya dilakukan.
“Kalau itu (melakukan herd immunity saat sekarang kasus Covid-19 masih masif) artinya membiarkan penyakit menyebar. Saya rasa risiko untuk menyebabkan kesakitan dan kematian yang bisa dihindarkan terlalu tinggi,” ujar Panji. Selama belum ada herd immunity, kata dia, memang selalu ada kemungkinan terjadi outbreak lagi berupa gelombang kedua dan seterusnya.
Baca juga: Sejumlah Pasien Covid-19 Alami “Happy Hypoxia”, Apa Itu?
Hal ini terjadi ketika kehidupan dipaksakan untuk normal layaknya sebelum ada pandemi, saat jumlah kasus masih aktif. “Jadi selama belum ada herd immunity, kembali ke kehidupan normal pun harus tetap disertai upaya surveilans yang sangat intensif. Upaya pencegahan seperti pakai masker atau distancing tetap harus dijalankan,” jelasnya.
Untuk diketahui, Pejabat Senior Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dale Fisher menyebut vaksin untuk Covid-19 tidak akan siap hingga akhir tahun depan. “Saya pikir akhir tahun depan adalah ekspektasi yang sangat masuk akal,” kata Fisher seperti dilansir dari CNBC, Senin (4/5/2020).
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.