Kartu BPJS Kesehatan Nonaktif, Ini Cara Mengaktifkannya Kembali
Penulis Luthfia Ayu Azanella | Editor Inggried Dwi Wedhaswary
KOMPAS.com- Di media sosial Twitter, viral sebuah utas yang mengungkapkan keluhan karena besarnya dana yang harus dibayar untuk mengaktifkan ulang kartu BPJS Kesehatan. Pengguna Twitter itu menceritakan, istrinya baru saja melahirkan melalui caesar. Akan tetapi, kartu BPJS-nya nonaktif karena ia tidak membayar iuran dengan alasan terkena PHK. Untuk mengaktifkan kembali, ia harus melunasi sejumlah dana perawatan dan persalinan sang istri.
Baca juga: Kenali Perbedaan Tiga Kemasan Vaksin COVID-19 dari Sinovac
Pengguna itu juga membagikan beberapa foto, salah satunya foto yang menunjukkan besarnya tunggakan yang harus peserta bayarkan sebesar Rp 2.070.000 per anggota keluarganya. Total yang harus dia bayar mencapai belasan juta rupiah. Apa yang harus dilakukan ketika menemukan atau mengalami kasus seperti ini? Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan, kartu BPJS Kesehatan akan aktif dan siap digunakan ketika peserta rutin membayar iuran sesuai besaran iuran kelas kepesertaan.
“Jika rutin iuran dibayarkan per bulan, maka kartu akan selalu aktif. Paling lambat tanggal 10 setiap bulan, iuran wajib dibayarkan,” kata Iqbal saat dihubungi Kompas.com, Minggu (3/1/2021). Iqbal mengingatkan, jika peserta terlambat membayar iuran, meski hanya satu bulan, maka kartu secara otomatis akan nonaktif dan tidak bisa digunakan.
Kartu yang nonaktif bisa diaktifkan kembali
Akan tetapi, kartu yang sudah nonaktif bisa diaktifkan kembali. Iqbal mengatakan, peserta bisa mengaktifkan kembali kartu BPJS Kesehatan dengan membayar sejumlah iuran yang tertunggak dan iuran pada bulan berjalan sehingga bisa memanfaatkan kepesertaannya di BPJS Kesehatan. “Kalau sudah dibayarkan iuran yang tertunggak, kartu langsung aktif. Bayar iuran yang tertunggak sama iuran bulan berjalan,” ujar Iqbal.
“Kalau harus mendapat rawat inap di RS dalam rentang 45 hari (sejak kepesertaan kembali diaktifkan) baru ada denda (layanan). Kalau di FKTP dan rawat jalan, enggak ada denda layanan. Denda layanan ya, bukan denda iuran,” lanjut Iqbal. Mengutip Kontan, 8 Desember 2020, besarnya denda layanan adalah sebesar 2,5 persen dari biaya diagnosis awal pelayanan rawat inap dikalikan dengan jumlah bulan tertunggak. Dalam kasus yang dibagikan pengguna Twitter di atas, menurut Iqbal, yang bersangkutanmemiliki 3 tanggungan anggota keluarga, sehingga total tagihan iuran mencapai Rp 6.210.000.
“Kalau bapak ini kan menunggak iuran ya. Sebesar Rp 2.070.000 per bulan, coba dibagi iuran kelas 1 (Rp 150.000), lebih (dari) setahun dia enggak bayar,” kata Iqbal. Jika dalam unggahan ia menyebut tidak sanggup membayar iuran sejak pandemi Covid-19 melanda akibat terkena PHK, Iqbal mempertanyakan hal tersebut. “Iya, sebelum corona dia juga menunggak. Artinya, pas istri mulai hamil, kartunya sudah tidak aktif, karena menunggak. Kalau Beliau kartunya aktif, pasti tidak timbul masalah denda layanan,” jelas Iqbal. Ia mengatakan, peserta BPJS Kesehatan seharusnya segera mengurus kepesertaannya untuk turun kelas, disesuaikan dengan kondisi finansial.
Kepada semua peserta BPJS Kesehatan, agar tak menghadapi persoalan seperti ini, Iqbal mengingatkan untuk memperhatikan beberapa hal. “Pertama, mengambil kelas sesuai kemampuan. Kedua, membayar rutin iuran per bulan. Ketiga (untuk kasus mengandung dan melahirkan), rajin memeriksakan kehamilan, jadi tahu apa ada penyulit apa tidak,” ujar Iqbal. Menurut dia, keluhan seperti ini tidak akan muncul jika peserta juga proaktif dengan program BPJS Kesehatan dan memahami hingga menaati aturan yang ada.
“Program JKN-KIS ini bersumber dari kontribusi iuran dari seluruh pesertanya, baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga dibutuhkan gotong-royong bersama untuk memastikan akses pelayanan kesehatan yang dijamin oleh program ini,” kata dia. “Rutin membayar iuran setiap bulan dengan menyesuaikan kemampuan dan dibayarkan baik ketika sehat maupun sakit,” ujar Iqbal. BPJS Kesehatan menggunakan istilah “iuran” dan bukan “premi”, karena program ini bejalan dengan menggunakan dana yang berasal dari kontribui iuran seluruh pesertanya.
Peserta dibebaskan untuk memilih kelas layanan yang akan diikuti, sesuai dengan kemampuannya. Ada kelas 1, 2, dan 3 dengan besar iuran yang berbeda-beda. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, kelas 1 dikenai iuran Rp 150.000, kelas 2 sebesar Rp 100.000, dan kelas 3 adalah Rp 35.000. Sementara itu, bagi masyarakat yang tidak mampu atau miskin tetap bisa menjadi peserta program ini, karena iuran akan dibayarkan oleh pemerintah.